Birokrasi dan Alat Politik Kekuasaan

RADARINDONESIANEWS.COM, JAKARTA - Birokrasi tidak jarang dijadikan sebagai kendaraan oleh oknum-oknum elit daerah untuk mewujudkan agenda kekuasaannya. Persoalan mendasar adalah tentang aturan tentang posisi maupun kewenanangan birokrasi dalam konteks pilkada. Salah satunya terlihat dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Kediri. Permasalahan yang selama ini muncul adalah tentang ketidak-netralan maupun keterlibatan birokrat dalam konteks pilkada. 
Dalam tulisan ini saya mencoba untuk mengupas persoalan itu apakah penguasaan akan masalah-masalah kebirokrasian menjadi salah satu energi yang membekali mereka dengan keberanian untuk tidak netral, tepatnya ikut mensukseskan pemenangan seorang calon kepala daerah dalam sebuah kontestasi pemilihan kepala daerah. Apalagi jika calon kepala daerahnya  salah satunya inchumben atau petahana. Dalam pandangan ini tidak sekedar membaca proses interaksi politik yang terjadi antara politisi dan birokrasi dalam konteks Pilkada, melainkan juga situasi -situasi dilematis dengan pilihan-pilihan rasional yang ditentukan oleh seorang birokrat. 
Misalnya Weber dalam kajiannya menggambarkan tipe birokrasi yang ideal dalam nada positif yang membuat birokrasi lebih berbentuk organisasi rasional dan efisien. Ia memandang adanya penyimpangan wewenang dalam sebuah birokrasi ketika para birokrat tidak dapat memisahkan kepentingan pribadi, golongan keluarga dan kepentingan Negara. Dengan kata lain Weber menyatakan bahwa birokrasi haruslah netral dengan tidak mencampuri urusan administrasi dengan politik karena telah memiliki bentuk yang pasti dimana kedua hal tersebut dijalankan dalam cara-cara yang rasional. 
Berbeda dengan apa yang menjadi pemikiran Karl Marx mengenai birokrasi, Marx mengkritik pemikiran dari Weber menyoal birokrasi yang ideal. Karl Marx dalam pemikirannya menyatakan bahwa birokrasi merupakan instrument yang digunakan untuk melaksanakan kekuasaan dominannya atas kelas -kelas sosial lainnya, dengan kata lain keberadaan birokrasi pemerintah memihak pada kekuatan politik yang memerintah. 
Jika berbicara tentang birokrasi, sepintas akan memunculkan pandangan yang mengganggap bahwa birokrasi tidak lepas pada pengaruh suksesi pemenangan kepala daerah. Birokrasi dan politik praktis selalu dikaitkan pada saat proses pemilihan maupun sesudah pemenangan kepala daerah. Birokrasi di Indonesia tidak pernah lepas dari pengaruh politik dan kekuasaan, kondisi ini telah melekat dalam tingkah laku atau perilaku birokrasi saat ini. Fungsi dari birokrasi tidak berjalan semestinya yang seharusnya menj adi pelayan masyarakat menjadi sebaliknya birokrasi cenderung mengabdi pada penguasa untuk kepentingan kekuasaan. Kenetralan tidak lagi menjadi (nilai) yang harus dipertahankan, banyaknya value mesin-mesin pemerintah telah beralih haluan yang lebih mementingkan kepentingan penguasa. 
Kehadiran birokrasi tidak luput dari berbagai kegiatan yang ditumpangi dengan ketidaknetralan dari birokrasi yang melibatkan birokrat masuk dalam arena pertarungan politik yang terjadi dalam pesta demokrasi. Birokrasi sebagai instrumen negara, pelaksana kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dan abdi masyarakat seharusnya bekerja profesional, netral, non diskriminatif dan bekerja untuk kepentingan nasional. Hal itu ditandai dengan memberikan pelayanan publik dalam rangka memajukan kesejahteraan, menciptakan keadilan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. 
Pandangan Weber terhadap birokrasi yaitu sebagai unsur pokok dalam rasionalitas dunia modern, suatu birokrasi yang legal rasional dengan ciri khas tipe idealnya birokrasi, tetapi realitanya birokrasi yang idealnya netral dan melayani kepentingan semua kepentingan dalam masyarakat kemudian dengan mudah dikooptasi oleh politisi untuk berpihak pada salah satu politisi dalam pelaksanaan pemilukada. Setiap menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah, iklim politik semakin hangat dan menegangkan. Mesin-mesin politik bergerak secara progresif untuk menggolkan hasrat politik kandidat masing-masing, berbicara mesin politik posisi birokrasi sangat rawan terpolitisasi oleh calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah petahana / incumben. 
Birokrasi akan menjadi suatu trouble maker dan penghambat bagi perubahan serta penguat inovasi kemajuan masyarakat. Apabila birokrasi terus 'berpolitik' atau dikooptasi untuk dijadikan instrument kekuasaan bagi para politisi, peranannya akan semakin tereduksi dari tujuan semula dibentuknya birokrasi. Dilema yang dihadapi oleh para birokrat yaitu disatu sisi birokrasi dituntut untuk kompeten dan profesioanal, sementara di lain sisi birokrasi juga dikehendaki loyal sebagai mesin pelaksana kebijakan yang berdimensi politis yang menyesuaikan dengan kehendak dan keuntungan politik yang diharapkan. Birokrasi pada dasarnya bekerja untuk melaksanakan tugas yang telah diambil oleh pemerintah yang dipimpin oleh kepala pemerintahan yang merupakan politisi. 
Sejak pada tahun 1999, di Kabupaten Kediri Fenomena tentang melibatkan birokrat dalam arena pertarungan politik telah lama terjadi. 3 kali menjelang pesta demokrasi (pemilihan kepala daerah secara langsung) selalu dan selalu menggunakan birokrat sebagai tangan panjang pemenangan kepala daerah. Mengingat kabupaten Kediri dalam 15 tahun terakhir di pemimpin oleh kepala daerah yang berasal dari satu atap rumah (Pasangan Suami Istri) . Dengan melihat kondisi politik di daerah sedemikian rupa, tentunya mengerakan birokrat akan lebih mudah daripada menggerakan roda partai. Tentunya Posisi strategis birokrasi yang memiliki keunggulan dalam memobilisasi massa memanfaatkan setiap fasilitas dalam rangka mendukung seorang pasangan calon. Demikian halnya dengan potret perpolitikan yang terjadi di kabupaten Kediri. Pada pemilihan Kepala daerah Kabupaten Kediri pasca reformasi, Bupati Kediri dijabat oleh Sutrisno. Pada saat Sutrisno menjabat Bupati Kediri selama dua periode sejak tahun 1999 sampai 2009, maka birokrasi di cengkeram sekuat mungkin untuk melangengkan kekuasaan.
Eks Bupati Kediri Sutrisno ketika sudah tidak berkuasa tetapi dalam pemerintah Kediri masih seperti raja. Politik dinastinya meluas ke mana-mana, birokrasi tunduk dan patuh dalam perintahnya, dia juga punya lebih dari seorang istri bak raja dengan permaisuri dan selir-selirnya. Setelah dua kali menjabat Bupati Kediri, dia pun mulai melanjutkan trah politiknya. 
Seperti halnya pada Tahun 2010 Pemilihan Kepala daerah ini diikuti oleh tiga pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU Kabupaten Kediri. Pasangan yang mencalonkan diri adalah Haryanti (istri tua Sutrisno) yang berpasangan dengan Masykuri (Harmas)  sebagai pasangan pertama; Sunardi-Sulaiman Lubis (”Susu”) sebagai pasangan dua dan Nurlaila (istri muda Sutrisno)-Turmudi (”Nata”) pasangan tiga. Dalam pilkada itu dimenangkan oleh Haryanti yang merupakan istri tertua dari Sutrisno.
Dengan keikutsertaan kedua istri bupati (Haryanti dan Nurlaila) Kabupaten Kediri saat itu, Sutrisno, dalam kontestasi pilkada pada 2010, menunjukkan kuatnya kedekatan langsung dengan roda birokrasi dan elite penguasa yang sudah dia kuasai dan dikendalikan dari luar sistem.
Sama halnya dalam pilkada tahun 2015, Haryanti tidak ingin kalah dengan record yang dilakukan oleh suaminya, yaitu ingin melangengkan kekuasaannya untuk kedua kalinya. Cara yang digunaka hamper sama persis dengan cara sebelumnya, memanfaatkan jalur birokrasi sebagai andalan utama dalam melangengkan kekuasaan.
Mempelajari politik kekuasaaanya sebagai bupati berturut turut, saya melihat ada prilaku yang saya nilai ‘’curang” dengan ditandai dengan adanya intervensi dari birokrat dalam proses demokrasi tersebut yaitu adanya mobilisasi untuk mendukung dan memenangkan salah satu pasangan calon dengan cara yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang birokrat. Modus yang dilakukan adalah dengan melakukan pertemuan dengan birokrat-birokrat lainnya yaitu SKPD, Camat, Lurah dan RT RW yang ada di berbagai kecamatan maupun kelurahan/desa di Kabupaten Kediri dengan memberikan pengarahan yang dikemas dengan Bimtek (bimbingan teknis) yang kemudian di susupi pesan dukungan agar memilih “Raja” Sutrisno melalui Istrinya Haryanti yang maju sebagai Bupati. 
Dengan Segala upaya dilakukan untuk mendukung Haryanti dan pasangannya dengan memberikan instruksi kepada birokrat dengan melakukan kampanye terselubung dan pertemuan -pertemuan yang tertutup dengan  jajarannya. Konsekuensi dari instruksi tersebut adalah jajaran yang tidak patuh pada instruksi akan dimutasikan dari jabatannya bahkan kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh jalur birokrasinya akan dibongkar. 
Mayoritas Kepala SKPD dan Camat menyalahgunakan wewenangnya untuk menggerakkan struktur jajarannya pemerintahan dalam mendukung Haryanti dan Masykuri. Pelanggaran yang terjadi pada pemilukada tersebut juga dinilai bersifat sistematis, terstruktur dan massif. 
Meskipun Haryanti tidak menjabat lagi sebagai Bupati dan digantikan oleh Plt. Bupati yaitu Idrus yang ditunjuk oleh Gubernur Jatim Soekarwo, kekuasaan itu masih sangat kuat dan masih mudah dikendalikan oleh dinasti politik. Karena penunjukan Plt Bupati Kediri merupakan satu paket rekomendasi partai demokrat yang ikut menjadi partai pengusung Haryanti. 
Melihat fenomena yang terjadi di Kediri, birokrasi di daerah belum mampu menjadi mesin perubahan yang mensejahterakan rakyat, peran dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat yang netral dan professional masih jauh dari harapan . Birokrasi tidak jarang dijadikan sebagai kendaraan oleh oknum-oknum elit daerah untuk mewujudkan agenda kekuasaannya. Kasus pemilihan umum kepala daerah secara langsung di Kediri, tentunya menjadi cermin bagi masyarakat bahwa birokrasi masih sering dipaksa untuk melakukan perselingkuhan dengan politik untuk melayani kepentingan penguasa dan calon penguasa, sehingga birokrasi terpolarisasi kedalam beberapa titik. Sebuah fenomena yang layak kita khawatirkan akan menghilangkan jati diri birokrasi yang seharusnya netral dan professional sehingga pertanggungjawaban dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sulit dilaksanakan secara optimal. 
Keinginan birokrat untuk masuk kedalam arena politik dalam pemilukada dapat diasumsikan bahwa itu dilakukan untuk kepentingan pribadinya serta menginginkan jabatan atau jenjang karir dalam pekerjaannya atau mempertahankan kekuasaan yang dimiliki, Birokrasi dalam hal ini juga membuka diri ke dalam arena politik untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi dalam jabatan birokrasi. Keadaan inilah yang menjadikan adanya politisasi birokrasi yaitu gejala yang melibatkan birokrasi secara langsung dan terang -terangan untuk menjadi pendukung dan anggota organisasi peserta pemilu demi kepentingan pribadi. Peran birokrasi sebagai pemegang kekuasaan sentral membuat birokrasi dihadapkan dengan situasi dilematis antara sebagai alat politik atau sebagai administrator publik yang berorientasi pada professional dan efisiensi pelayanan publik. 
Dilema birokrasi menjadi sumber terjadinya pertikaian dan konflik antara birokrasi dan politisi. Perebutan kekuasaan dikarenakan tidak adanya aturan main secara jelas sehingga pada akhirnya menjadi persoalan bagi demokrasi. Kontradiksi dalam ambiguitas dari peran birokrasi dalam banyak hal menyebabkan perselisihan politik antara birokrat dan politisi. Perselisihan konflik politik acap kali juga disebabkan oleh peran birokrasi yang tidak pernah didefenisikan secara jelas baik dalam ranah politik maupun dalam ranah non politik. Birokrasi dalam hampir bisa dipastikan tidak setting electoral mungkin netral, ketidaknetralan itu bisa jadi karena faktor internal maupun faktor eksternal. Peluang dan resiko selalu menjadi pertimbangan birokrat untuk masuk kedalam politik praktis khususnya pada pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). *Aktivis Penggiat Demokrasi (PegaD) Kediri



http://www.radarindonesianews.com/2015/09/taufiq-dwi-kusuma-sh-birokrasi-dan-alat.html?m=1


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empat Pilar Pemberdayaan Masyarakat

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan menganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN”

DAFTAR LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DAN LEMBAGA NON PROFIT