Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Kehilangan Indonesia

Indonesia adalah negeri para pejuang, bukan negeri para begundal. Itulah sebabnya setiap tahun kita memperingati Hari Pahlawan. Dalam ungkapan Bung Hatta, ”Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada masa depan dan untuk mewujudkannya, setiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.” Berjuang, ”berusaha dengan segala tenaga dan kemampuan” itulah urat nadi keindonesiaan, yang membuat ia ada dan melangsungkan keberadaannya. Tekad perjuangan ini bukanlah retorika kosong dari suatu politik pencitraan, melainkan didarahi oleh pengalaman keterjajahan, ketertindasan, dan penderitaan yang membuat para pendiri bangsa memiliki penghayatan yang dalam tentang arti keadilan dan komitmen yang kuat untuk mewujudkannya. Itulah sebabnya, dalam Pancasila, kata ”keadilan” ditonjolkan dengan menempatkannya di dua sila sekaligus. Pada sila kedua, keadilan dijadikan landasan nilai perjuangan; pada sil

Berpolitiklah sebagai Perwakilan TUHAN

Kekuasaan tidak pernah lahir dalam kandungan kebudayaan. Ia anak tunggal politik, yang dalam versi Machiavelli, harus diperebutkan. Dalam perebutan cenderung tidak ada pertimbangan moral yang wajib dilibatkan. Menipu, kampanye hitam, memfitnah, dendam, kebencian atau apa saja yang melampaui batas keadaban, bisa ditempuh, demi tujuan kekuasaan yang dirumuskan. Homo homini lopus, bisa dijadikan pembenaran secara salah kaprah. Sementara agama adalah sumber moral, bagaimana kekuasaan itu harus dihampiri dan digunakan. Dalam bayang-bayang agama, setiap kekuasaan harus dipertanggungjawabkan. Ia  akan menjadi rute tercepat perubahan yang bertumpu pada keadilan, kejujuran, dan kesejahteraan. Dimata agama kekuasaan  bermakna amanah. Titipan. Bukan tempat berburu hak-hak istimewa dalam memanjakan hasrat hedonis.   Disfungsi agama akan terjadi ketika ia berubah menjadi ideologi. Fungsinya bukan lagi sebagai rujukan moral, tetapi pusat legitimasi kekuasaan. Inilah yang dimaksud politisisasi a

*RESOLUSI JIHAD*_ *(sejarah yang di terlupakan atau SENGAJA di lupakan?)*

SEJENAK MENGENANG SEJARAH BANGSA  YANG HAMPIR KITA LUPAKAN. Indonesia merdeka tanggal 17 agustus 1945, namun belum genap 1 bulan usia kemerdekaan, Indonesia langsung mendapat ujian yg berat. Tentara sekutu yang membonceng tentara Belanda mendarat di jakarta dan kota-kota besar lainya di Indonesia. Bung Karno dan Bung Hatta berupaya melakukan upaya DIPLOMATIK untuk mendorong tentara sekutu bekerja profesional hanya mengurus tahanan saja dan tidak mengutak ngatik _Status kemerdekaan Indonesia,_ namun upaya itu tidak membuahkan hasil. Bung Karno galau saat itu, beliau menganalisa bila sampai terjadi peperangan secara Sistematis, Indonesia pasti tidak akan bisa mengalahkan tentara sekutu, karena persenjataan mereka jauh lebih lengkap dan keahlian militernya lebih memadai. Atas saran dari *Panglima Besar Jenderal SUDIRMAN,*  Bung Karno di minta untuk mengirim utusan Khusus kepada *Roisul akbar Nadhatul 'Ulama* (Ketua Umum NU) yaitu *Hadrotus Syaikh K.H. Hasyim Asy'ari*  di

RAHMATAN LIL ALAMIN

Gambar
Sejak diusir dari surga, Setan bersumpah akan menggoda setiap anak Adam untuk napak tilas ikut jejaknya ke Neraka. DAMAI antar umat manusia adalah hal yang paling dibenci Setan, karena bila ada kedamaian, tidak akan ada dengki, tidak ada benci, tidak ada caci, tidak ada bunuh, tidak ada perang. Setan akan berusaha sekuat tenaga untuk melenyapkan kedamaian, mengambil wujud sebagai manusia, bila perlu mengenakan jubah pemuka agama. Karena dengki bagaikan api, dan damai airnya. Bagai kebakaran yang dipadamkan hujan, setitik damai bisa menghancurkan bertahun-tahun kerja Setan. Inilah alasan Setan membenci damai lebih daripada Ia membenci Tuhan dan Nabi. Satu lagi yang Setan tak kalah benci, adalah manusia yang menyerukan perdamaian. Maka jangan heran, dimana ada insan yang menebar pesan damai, selalu akan ada Setan-Setan mengerubungi, bahkan fasih ayat kitab suci untuk membenarkan permusuhan. Siapapun yang mencoba meyakinkan bahwa umat Kristiani & umat Muslim harus bermu

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan menganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN”

Gambar
“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan menganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN”  [Wiji Thukul] Tulisan ini tidak bermaksud untuk melakukan pembelaan dan pembenaran diri atas ketidakmampuan penulis untuk ikut menjadi disiplin dan taat aturan di kampus. Tetapi lebih karena didorong oleh suatu alasan akademis, bahwa memang sudah seharusnya kampus akomodatif terhadap perkembangan wacana keilmuan, sekalipun itu berbeda dengan wacana mainstream  yang berkembang di kampus. Malah justru sebuah kesalahan yang amat mendasar apabila kita memasung kreativitas berpikir mahasiswa dan dosen dengan alasan yang cukup klasik, seperti alasan etika-moralitas. Bagi penulis sudah menjadi kemestian bahwa kebebasan berpikir harus menjadi landasan utama dalam rangka mentransformasikan ilmu pengetahuan. Tidak boleh ada represi atau ancaman untuk setiap gagasan, apapun gagasan itu. Kampus seharusnya menjadi ruang dialog berba