Berpolitiklah sebagai Perwakilan TUHAN
Kekuasaan tidak pernah lahir dalam kandungan kebudayaan. Ia anak tunggal politik, yang dalam versi Machiavelli, harus diperebutkan. Dalam perebutan cenderung tidak ada pertimbangan moral yang wajib dilibatkan. Menipu, kampanye hitam, memfitnah, dendam, kebencian atau apa saja yang melampaui batas keadaban, bisa ditempuh, demi tujuan kekuasaan yang dirumuskan. Homo homini lopus, bisa dijadikan pembenaran secara salah kaprah.
Sementara agama adalah sumber moral, bagaimana kekuasaan itu harus dihampiri dan digunakan. Dalam bayang-bayang agama, setiap kekuasaan harus dipertanggungjawabkan. Ia akan menjadi rute tercepat perubahan yang bertumpu pada keadilan, kejujuran, dan kesejahteraan. Dimata agama kekuasaan bermakna amanah. Titipan. Bukan tempat berburu hak-hak istimewa dalam memanjakan hasrat hedonis.
Disfungsi agama akan terjadi ketika ia berubah menjadi ideologi. Fungsinya bukan lagi sebagai rujukan moral, tetapi pusat legitimasi kekuasaan. Inilah yang dimaksud politisisasi agama. Agama telah digunakan untuk memunggut kekuasaan dengan cara-cara yang tidak agamis. Paradoksal terus berhamburan. Kemunafikan dicetak secara berlibat ganda. Khotbah-khotbah agama telah dipertukarkan oleh kepentingan politik yang melumaskan sebuah kenikmatan duniawi (mobil mewah, rumah mewah, isteri banyak). Disini seluruh nilai-nilai agama telah didistorsikan hasrat kekuasaan yang tersembunyi. Inilah makna politisasi agama yang sesungguhnya. Doktrin agama telah dijajakan untuk mengeruk kenikmatan duniawi yang tidak ada hubungannya dengan keluhuran nilai-nilai moralitas: bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama, tentang arti pentingnya kebersahajaan, bebas kebencian, jauh dari semangat menfitnah, berlaku jujur, adil, sebagai perwujudan wakil Tuhan di bumi.
Komentar
Posting Komentar