NERAKA DIMINTA AJA TIDAK BOLEH, APALAGI HARTA & KEKUASAAN


Rasanya semakin gatel mendengar beberapa persoalan yang semakin hari semakin tak menentu. Hal ini yang kemudian membuat saya gatel menulis dikarenakan Negara hadir bukan untuk memberikan rasa aman, nyaman & tentram bagi rakyatnya. Tapi justru membuat aturan yang rakyatnya saling berbenturan (pro kontra).
Kegaduhan ditingkat elit kekuasaan ini, oleh kelompok masyarakat menengah kebawah biasa disebut dengan pencitraan atau mencari sensasi. Kegaduhan tersebut buktikan dengan beberapa bulan terakhir ini, pemerintah bermain-main dalam membuat aturan yang seolah olah melindungi dan memberi rasa aman kepada rakyatnya. Namun apa yang kemudian dihasilkannya!!!!
Ø  Pertama, Pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 2 tahun 2017 tentang PEMBUBARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN anti-Pancasila. Dimana dalam penerbitan perppu tersebut memunculkan banyak keresahan dibeberapa kelompok masyarakat. Pihak yang setuju menyatakan negara sudah dalam keadaan genting karena sudah banyak organisasi berpaham anti-Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian pihak yang menolak aturan itu menganggap bahwa Perppu nomor 2 tahun 2017menghambat perkembangan demokrasi maupun kebebasan untuk berkumpul & berserikat.
Saya menilai bahwa Perppu tersebut muncul atas dasar tekanan politik dari kelompok tertentu yang tidak suka dengan keberadaan kelompok atau organisasi yang dianggap berpaham anti-Pancasila.  Hal itu yang kemudian membuat pemerintah terlalu tergesa gesa mengambil sikap menerbitkan Perppu pembubaran organisasi kemasyarakatan anti-pancasila yang berdasarkan tekanan dan rasa takut. Menurut saya seharusnya sebelum pemerintah membuat atau menerbitkan Perppu harus melakukan kajian maupun analisis secara filosofis, sosiologis dan yuridis terkait dengan tuduhan terhadap kelompok/organisasi yang dianggap anti-pancasila. Dan atau pemerintah juga bisa menuntut dan membuktikan secara hukum melalui lembaga pengadilan untuk menentukan organisasi tersebut patut dibubarkan atau tidak. Jadi artinya bahwa pemerintah membuat atau menerbitkan suatu peraturan / perundang-undangan bukan berdasarkan tekanan atau berdasarkan rasa ketakutan ataupun berdasarkan suka atau tidak suka, tetapi berdasarkan unsur filosofis, unsur sosiologis, dan unsur yuridis.

Ø  Kedua, persoalan UU PEMILUan yang paling subtantif pembahasannya adalah tentang “Presidential Threshold" (ambang batas syarat pengajuan capres) yang dipergunakan sebagai pedoman pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019 dan Pasal siluman pasal 341 ayat 1 huruf A UU Pemilu bahwa kotak suara harus bersifat transparan/kotak striptis .
Sebagaimana yang diinginkan oleh pihak pemerintah yang diwakili oleh Mendagri mengatakan bahwa sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo sikap pemerintah tersebut didasari keinginan melakukan pembangunan politik negara yang secara konsisten menuju pada penyederhanaan. Sebab pemerintah konsisten terhadap Ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen peroleh suara sah nasional yang sudah diterapkan pada penyelenggaraan Pemilu 2009 dan 2014. Tentunya keinginan pemerintah di dukung dengan partai pendukungnya yaitu PDIP, PKB, PPP, Golkar, NasDem, dan Hanura.
Melihat begitu alotnya proses pembahasan RUU Pemilu tersebut membuat saya teringat dengan sentilan GUS DUR “DPR seperti taman kanak-kanak (TK)”. Hehehehehe gitu aja sewot.
Menurut saya, besaran presidential threshold sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan untuk Pemilu 2019, karena Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan bahwa penyelenggaraan Pemilu 2019 dilaksanakan secara serentak. Maka secara otomatis presidential threshold harus 0%, jadi Ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen peroleh suara sah nasional yang sudah diterapkan pada penyelenggaraan Pemilu 2009 dan 2014 tidak berlaku atau tidak layak untuk dipergunakan dalam Pemilu 2019.
Namun lagi-lagi sikap pemerintah maupun elit parpol terlalu mengedepankan keegoisannya dalam mempertahankan nafsu syahwat politiknya dengan mengesampingkan pendapat orang lain ataupun dari beberapa kelompok penggiat demokrasi. Kemudian dari sisi penyelenggara pemilu tidak bisa memberikan masukkan berarti bagi keberlangsungan penyelenggaraan pemilu yang bermartabat.
Kemudian yang terkait dengan Pasal siluman pasal 341 ayat 1 huruf A UU Pemilu bahwa kotak suara harus bersifat transparan, sehingga bisa terlihat dari luar, atau bisa saya sebut dengan kotak striptis.
Menurut DPR yang diamini oleh Pemerintah tentang Pasal pasal 341 ayat 1 huruf A UU Pemilu bahwa kotak suara harus bersifat transparan karena pada Pemilu nanti KPU sudah tidak mungkin menggunakan kotak suara lama, hal itu disebabkan kotak suara yang lama sudah banyak yang rusak dikarenakan digunakan berkali-kali, pada pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah, dengan adanya kotak suara baru yang transparan, untuk menjamin kwalitas pemilu, dengan meminimalisasi kecurangan. 
Menurut saya, kwalitas pemilu dan untuk meminimalisir kecurangan tidak diukur dari kotak suara harus bersifat transparan / kotak striptis, tetapi diukur dari bagaimana penyelenggara & peserta pemilu melaksanakan pemilu secara LUBER & JURDIL.
Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti pemilih bebas memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun, kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya diketahui oleh si pemilih itu sendiri. Jujur mengandung arti bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu.
Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

Ø  Kemudian persoalan yang ketiga adalah duet haji "DANA HAJI". Dana tersebut dinilai murni uang umat Islam yang menunaikan Ibadah Haji yang peruntukkannya tidak boleh dipindahtangankan atau dimanfaatkan untuk kepentingan lain tanpa persetujuan pemiliknya.
Berkaitan dengan pengelolaan Dana Haji, Pemerintah dalam hal ini di sampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo menginginkan bahwa dana haji yang nilainya ±Rp 90 triliun agar dioptimalkan untuk pembangunan infrastruktur. Apa yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo tersebut dilakukan setelah membentuk Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), dan bahkan sampai ia berani menjamin dana tersebut aman dari berbagai risiko terburuk jika dialokasikan ke pembangunan infrastruktur. Hal ini juga tidak beda jauh dengan beberapa anggota DPR yang mendukung keinginan sang presiden, bahkan ada anggota dewan yang mengatakan bahwa dana haji bisa digunakan untuk membeli pesawat & membangun hotel.
Hehehehehehehehe …………….
Menurut saya, sangat naif jika duet umat "DANA HAJI" dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur, membeli pesawat & membangun hotel/Rumkit.
Pertanyaan saya kemudian adalah, bukankah dana infrastruktur sudah ada alokasi tersendiri ? bukankah Negara sudah mempunyai ratusan bahkan ribuan rumah sakit ? Apakah dana haji “pantas” untuk membeli KAPAL MABUR yang dipergunakan 1kali dalam setahun pada musim haji saja?

Sebagaimana yang saya baca di dalam UU No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji antara lain mengamanatkan pengelolaan keuangan haji, tetapi yang bisa dilakukan hanya menyimpan dalam bentuk deposito dan sukuk. Yang kemudian Untuk menjamin pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel, terbitlah payung hukumnya yaitu UU Nomor 34 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Tentunya berdasarkan dari UU tersebut pemerintah bisa mengambil nilai manfaatnya untuk mendukung penyelenggaraan ibadah haji yang lebih berkualitas melalui pengelolaan keuangan haji yang efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pelayanan kwalitas dan kwantitas jamaah haji. Oleh sebab itu jangan sampai salah mengambil keputusan yang berakibat mendapatkan karma “KWALAT” dari rakyatnya dikarenakan menyalahgunakan kekuasaan.


Sebagai orang “NDESO”, merasa sangat prihatin dengan kegaduhan negeri saat ini. Usia bangsa Indonesia semakin tambah dewasa, tapi sayang belum bisa dewasa dalam berpolitik dan berdemokrasi.

“Kekuasaan bukan segala-galanya, jadilah pemimpin yang amanah, bisa memberi kemakmuran, kenyamanan & ketentraman bagi rakyat”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empat Pilar Pemberdayaan Masyarakat

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan menganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN”

DAFTAR LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DAN LEMBAGA NON PROFIT