Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

NERAKA DIMINTA AJA TIDAK BOLEH, APALAGI HARTA & KEKUASAAN

Rasanya semakin gatel mendengar beberapa persoalan yang semakin hari semakin tak menentu. Hal ini yang kemudian membuat saya gatel menulis dikarenakan Negara hadir bukan untuk memberikan rasa aman, nyaman & tentram bagi rakyatnya. Tapi justru membuat aturan yang rakyatnya saling berbenturan (pro kontra). Kegaduhan ditingkat elit kekuasaan ini, oleh kelompok masyarakat menengah kebawah biasa disebut dengan pencitraan atau mencari sensasi. Kegaduhan tersebut buktikan dengan beberapa bulan terakhir ini, pemerintah bermain-main dalam membuat aturan yang seolah olah melindungi dan memberi rasa aman kepada rakyatnya. Namun apa yang kemudian dihasilkannya!!!! Ø   Pertama , Pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 2 tahun 2017 tentang PEMBUBARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN anti-Pancasila. Dimana dalam penerbitan perppu tersebut memunculkan banyak keresahan dibeberapa kelompok masyarakat. Pihak yang setuju menyatakan negara sudah dalam keadaan gen

Civil society menjadi political society.

Politik itu kekuasaan yang tersurat. Kebudayaan itu kekuasaan yang tersirat.  Bagi negara yang belum mapan basis kebudayaannya, proses politisasi cenderung bermakna negatif. Politisasi agama, politisasi hukum, politisasi pendidikan dsb. Apa saja yang diberi label politik menjadi bermakna negatif.Politik seolah hanya memiliki satu pintu. Abuse of power. Penghadang kejujuran.  Setiap kerja politik selalu menagih upah. Bersifat jual-beli. Serba pamrih. Menggeser "obyektifitas" menjadi " subyektifitas". Mengubah opini jadi fakta. Kesuksesan kerja politik hanya diukur dalam meraup kekuasaan. Puncak-puncak kesuksesan politik adalah menduduki jabatan. Kepiawaiannya diukur dalam kemampuan melobi. Akibatnya, kerja politik mudah jatuh pada menghalalkan segala cara. Pusat pengelabuan. Ruang tukar-menukar fitnah. Penuh dengan semangat kebencian. Lawan dan kawan diukur dalam persekutuannya dalam menyamakan cita-cita. Dewanya uang, berhalanya kekuasaan.  Karenanya, tanpa landasan

Cacat Bawaan Demokrasi "Politik Dinasti"

Membaca cerita pembagian kekuasaan di Klaten, terasa mengelikan. Hal itu tidak jauh dibandingkan dengan Dinasti Kediri. Dimana Sirkulasi kekuasaan hanya melingkar antara para bupati, suami, anak, mantu, adik, keponakan dll. Arisan kekuasaan yang dilegitimasi demokrasi. Buahnya korupsi. Politik Dinasty  telah terlembaga tanpa kerisauan. Inilah cacat bawàan demokrasi. Demokrasi tidak punya sabuk pengaman untuk menyelamatkan tujuannya. Demokrasi tidak punya filter untuk memilah suara terbanyak adalah representasi kebaikan. One men one vote, justru bisa menjadi selaput yang menghalangi, terpilahnya pemimpin berbobot dengan pemimpin abal-abal. Ketika rakyat masih lapar, suara uang adalah segalanya. Ketika rakyat belum melek politik, ketenaran adalah modal pengelabuan.  Ketika rakyat masih terlalu jujur menanggapi janji, maka pengelabuan politik akan terus terjadi. Ketika memori kolektif rakyat terlalu pendek untuk menghukum kejahatan politik, politik dinasti akan tetap subur makmur. Rakya