“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan menganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN”

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan menganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN”
 [Wiji Thukul]
Tulisan ini tidak bermaksud untuk melakukan pembelaan dan pembenaran diri atas ketidakmampuan penulis untuk ikut menjadi disiplin dan taat aturan di kampus. Tetapi lebih karena didorong oleh suatu alasan akademis, bahwa memang sudah seharusnya kampus akomodatif terhadap perkembangan wacana keilmuan, sekalipun itu berbeda dengan wacanamainstream yang berkembang di kampus. Malah justru sebuah kesalahan yang amat mendasar apabila kita memasung kreativitas berpikir mahasiswa dan dosen dengan alasan yang cukup klasik, seperti alasan etika-moralitas. Bagi penulis sudah menjadi kemestian bahwa kebebasan berpikir harus menjadi landasan utama dalam rangka mentransformasikan ilmu pengetahuan.
Tidak boleh ada represi atau ancaman untuk setiap gagasan, apapun gagasan itu. Kampus seharusnya menjadi ruang dialog berbagai macam gagasan sehingga sangatlah penting adanya rasa saling menghormati dalam berpendapat, sekalipun pendapat itu bertentangan dengan keyakinan paling mendasar kita. Sederhana saja, kira-kira apa maksud Tuhan menciptakan hamba-Nya dalam bentuk yang beragam atau berbeda-beda? Jika Tuhan saja menciptkan kita dalam bentuk yang beragam (plural), mengapa kita harus memaksakan semuanya harus sama (tunggal), termasuk dalam pemikiran. Bukankah Tuhan tidak melarang hamba-Nya untuk berbeda-beda, yang Tuhan larang adalah perpecahan, pembeda-bedaan bukan perbedaan. Lalu mengapa kampus dengan entengnya melarang dan sengaja membungkam kebebasan berpikir dan perbedaan pendapat?
Karena itu, sudah menjadi keharusan kampus menjadi pusat pemikiran yang punya spektrum yang fleksibel bagi masyarakat kampus. Masyarakat kampus harus diberi kebebasan untuk menerima dan mengembangkan wacana atau gagasan yang berbeda tanpa adanya tekanan dari pihak manapun. Karenanya, sangat aneh apabila kampus kemudian melarang wacana yang berbeda lalu menuduhnya subversif dengan alasan etika akademik atau bahkan moralitas agama. Padahal di kitab-kitab suci seringkali disampaikan bahwa pada dasarnya perbedaan adalah rahmat. Sebab dengan perbedaan itu manusia bisa saling mengenal serta saling lengkap melengkapi.
Fenomena pembungkaman memang seolah-olah menjadi tren dewasa ini. Bentuknya beragam, ada yang berwajah politik pragmatis—Pilpres, Pileg, Pilkada, atau Pilrek—, ada pula yang berwajah spritual ataupun akademis. Fenomena-fenomena demikian tentu menjadi sebuah keresahan. Bagaimana tidak, di era –yang katanya— beriklim demokratis ini hal demikian masih juga terjadi. Tentu ini menjadi polemik yang dilematis. Fenomena tragis inilah yang menimpah banyak aktivis-aktivis mahasiswa di kampus-kampus. Ide-ide segar dan gagasan progresif mereka harus dibayar dengan harga yang mahal—nilai eror, skorsing, DO bahkan ancaman penghilangan nyawa.
Tradisi pelarangan-pembungkaman ini sebenarnya bukan cerita baru, bagi penulis ini adalah ceria lama yang terus diulang-ulang, klise. Dalam dunia pendidikan di indonesia tradisi ini bisa dilacak melalui catatan-catatan sejarah. Dalam catatan sejarah, kita dapat melihat dari Era Kolonialisme, di mana rakyat pribumi tidak dibolehkan untuk melawan kebijakan otoritas kolonial, kebijakan Kolonial adalah kebenaran mutlak dan seluruh rakyat pribumi harus patuh dan taat padanya. Hal ini berlanjut di Era Kemerdekaan, di akhir Era Orde Lama, pemerintahan Soekarno mulai bertindak otoriter, tak ada ruang untuk pendapat berbeda. Orde Lama pada akhirnya mulai alergi terhadap kritik, protes dan beragam pendapat yang berbeda dengannya pun mulai berbuat otoriter, pendapat yang bertentangan dengan rezim pemerintahan dilarang. UI dan KAMI karena dituduh sebagai sarang aktivis yang kontra revolusi pun harus dipaksa bubar. Media-media dibredel dan penulis-penulis progresif yang kontra dengannya dibuang atau diasingkan.
Orde Lama tumbang, tapi ternyata itu bukan akhir cerita, perilaku otoritarian tersebut masih terus terawat. Bahkan, lebih kejam lagi. Pembungkaman, penculikan sampai pembunuhan bagi mereka yang kontra sukses dipelihara Soeharto. Kebenaran hanya milik penguasa Orde Baru, mereka yang berbeda pendapat akan dituduh subversif, provokatif, dan tidak pancasilais sehingga harus dianggap ingin makar terhadap negara, dan itu berarti negara sah untuk melakukan apapun terhadapnya. Di masa ini kampus-kampus dijaga dan dikontrol ketat. Organisasi mahasiswa atau lembaga-lembaga kemasyarakatan terus diawasi dan diteror. Lahirlah regulasi-regulasi yang mengungkung kebebasan mahasiswa. Motif dan alasannya banyak, pendisiplinan, penertiban, dan macam-macam kemasannya. Di era inilah NKK/BKK lahir, kampus—Lembaga Kemahasiswaan— harus steril dari politik. Ngomong-ngomong soal politik, ideologi, kebobrokan penguasa bisa dituduh makar. Dan apabila itu ketahuan oleh penguasa Orba, bisa-bisa kita hilang dibuang, diculik atau dibunuh.
Reformasi 1998 tentu menjadi angin segar bagi masyarakat Indonesia. Semua berharap perilaku otoritatif itu tak ada lagi, tetapi ternyata harapan itu meleset. Watak dan perilaku itu ternyata masih terus terawat dan terjaga dengan baik di banyak institusi-institusi termasuk institusi pendidikan. Kemasan dan rupa-nya saja yang berganti, tapi wataknya masih terus lestari.
Padahal di banyak negara lain, pembungkaman boleh dibilang sudah selesai. Kalaupun ada, itu adalah kasus khusus dan tak pernah lagi menjadi isu sentral. Kebebasan berekspresi dan berpendapat benar-benar dijaga dan dijunjung tinggi, kecuali pada kasus-kasus khusus, yang sifatnya lebih personal.
Sementara ada kecenderungan kebebasan berpikir, berekpresi, berorganisasi menjadi sesuatu yang menakutkan di institusi pendidikan. Banyak mahasiswa yang difatwa provokatif karena pandangan-pandangannya yang dianggap tidak sejalan dengan moralitas pejabat kampus. Untuk meneguhkan otoritas, mereka mengeluarkan aturan-aturan, kebijakan-kebijakan—yang sesungguhnya tidak mencerminkan sikap yang bijak— yang mengancam dan menakut-nakuti setiap Mahasiswa dan dosen yang bermain-main dengan kebijakan birokrasi.
Para pejabat kampus memainkan peran penting dalam menyemai ketakutan akan kebebasan di kalangan masyarakat kampus. Ortodoksi pemahaman tentang etika kampus, baik untuk mahasiswa, pegawai maupun dosen, pada dasarnya dibangun untuk mempertahankan ajaran-ajaran yang mapan dan menjaga status quo kekuasaan para pejabat kampus. Seharusnya, kampus ditampilkan sebagai ruang mendialogkan wacana, bertukar gagasan, transformasi pengetahuan, pengkajian secara mendalam.
Tidakkah sepatutnya bagi masing-masing orang memperoleh hak hak berbeda pendapat, hak-haknya untuk berorganisasi? Apakah kita memiliki otoritas untuk menghakimi kebenaran pendapat seseorang? Bukankah kebebasan mimbar akademik dijamin oleh UU, dan kebebasan berpendapat, berekspresi dan berserikat dilindungi oleh konstitusi? Kita harus berani mengatakan bahwa pendidikan diselenggarakan adalah untuk memanusiakan manusia, dan kebebasan berpikir adalah bagian penting dari nilai kemanusiaan kita. Sejarah telah membuktikan bahwa peradaban besar hanya lahir ketika akal dan kebebasan berpikir, berekspresi, berorganisasi mendapatkan tempat yang layak dalam tradisi kehidupan.
Oleh sebab itu, pertanyaan-pertanyan ini penting untuk segera didialogkan dan selesaikan. Masihkah relevan memusuhi tradisi berpikir bebas, kebebasan berekspresi, berorganisasi atas nama etika moralitas kampus? Masihkah layak pelarangan dan pembungkaman suara-suara kritik? Apabila pelarangan-pembungkaman itu dibenarkan, maka sepertinya apa yang dianjurkan Wiji Thukul dalam sajaknya tersebut perlu dilakukan. Mari kita renungkan bersama. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empat Pilar Pemberdayaan Masyarakat

DAFTAR LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DAN LEMBAGA NON PROFIT