APAKAH FASILITATOR = KARYAWAN KOTRAK DALAM MENDAPATKAN THR ?
Sehubungan dengan
permasalahan dan pertanyaan dari kawan-kawan yang bekerja di sector pemberdayaan
(Fasilitator) terkait dengan apakah fasilitator = karyawan kotrak dalam
mendapatkan thr ? maka saya mencoba dengan memberi komentar mengenai hubungan
kerja sebagai “karyawan kontrak”, kemudian baru menjelaskan seputar hak Tunjangan
Hari Raya Keagamaan (“THR”) sekaligus menjelaskan ketentuan lain mengenai
THR, sebagai berikut:
1. Ketentuan
mengenai hubungan kerja melalui PKWT (perjanjian kerja untuk
waktu tertentu), “karyawan kntrak” merujuk pada Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU
No.13/2003”), bahwa PKWT atau “kontrak” hanya dapat dibuat (diperjanjikan)
untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Ciri-cirinya, antara lain
adalah:
a. pekerjaan yang sekali
selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang
diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling
lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat
musiman; atau
d. pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih
dalam percobaan atau penjajakan
Ketentuan tersebut, dipertegas pada Pasal 59 ayat (2) UU
No.13/2003 dan penjelasannya bahwa
PKWT tidak dapat diadakan (diperjanjikan) untuk pekerjaan yang bersifat tetap, yakni pekerjaan yang
sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi oleh waktu, dan
merupakan bagian dari sutu proses produksi dalam suatu perusahaan; atau
pekerjaan yang bukan musiman.
Terkait dengan masalah kawan-kawan fasilitator yang katanya sudah berlangsung selama 6
(enam) tahun yang setiap tahunnya diperpanjang dan sesudah 2 (dua) tahun sekali
diliburkan selama 1 (satu) bulan, maka dapat saya jelaskan -dengan memberikan opini- bahwa:
- jika Saudara dipekerjakan melalui PKWT dan -memang- untuk suatu pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu sebagaimana
ketentuan tersebut di atas, maka sah-sah saja Saudara di-”kontrak” melalui PKWT
oleh manajemen perusahaan dan diperjanjikan setiap tahun (sesuai kebutuhan).
Terlebih, jika
jenis pekerjaanya memang selalu berganti atau berpindah tempatnya ataukah memang
sifat pekerjaannya temporary (tidak tetap).
- Namun demikian, jika
-sebaliknya- suatu pekerjaan memenuhi syarat sebagai pekerjaan yang bersifat
tetap, akan tetapi Saudara dipekerjakan melalui
PKWT, maka menurut Pasal
59 ayat (7) UU No.13/2003 demi
hukum berubah menjadi PKWTT (perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu).
Artinya hak-hak kawan-kawan, baik pada saat masih dalam hubungan kerja
(termasuk hak THR) maupun pada saat berakhirnya hubungan kerja (seperti hak
“pesangon”) berhak diperoleh pada saat timbulnya hak-hak dimaksud. Dalam arti,
THR Saudara bukan diberikan secara proporsional, akan tetapi seharusnya utuh 1
(satu) bulan gaji seperti layaknya pekerja/buruh permanen melalui PKWTT.
2. Mengenai hak THR, pada dasarnya memang
merupakan hak bagi semua pekerja/buruh dalam hubungan
kerja, baik “karyawan kontrak” (PKWT), maupun terhadap PKWTT (permanen).
Walaupun -memang- ada perbedaan mengenai timbulnya hak THR terkait dengan
-jangka waktu- saat terputusnya atau berakhirnya hubungan kerja, yakni:
a. Bagi seorang
pekerja/buruh yang di-hire melalui
PKWTT dan terputus hubungan kerjanya (PHK*) terhitung sejak waktu 30 (tiga
puluh) hari kalender sebelum Hari
Raya Keagamaan, maka ia tetap berhak THR. Maksudnya, jika hubungan kerjanya
berakhir -masih- dalam
jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan (“hari
H”), maka pekerja/buruh yang bersangkutan tetap berhak atas THR (secara
normatif). Namun sebaliknya jika hubungan kerjanya berakhir lebih lama dari 30
(tiga puluh) hari kalender, maka hak atas THR dimaksud gugur.
b. Sedangkan bagi
pekerja/buruh yang dipekerjakan melalui PKWT, walau “kontrak” hubungan kerjanya
berakhir dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sebelum Hari Raya Keagamaan, tetap tidak berhak THR.
Artinya, bagi PKWT, tidak ada toleransi ketentuan mengenai batasan waktu 30
(tiga puluh) hari dimaksud. Jadi bagi pekerja/buruh melalui PKWT, hanya berhak
atas THR harus benar-benar masih bekerja dalam hubungan kerja sekurang-kurangnya
sampai dengan pada “hari H” suatu Hari Raya Keagamaan sesuai agama yang dianut
pekerja/buruh yang bersangkutan
(lihat Pasal 1
huruf d jo Pasal 2 ayat [1] dan Pasal 6 ayat [2] jo ayat [1] Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor
Per-04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di
Perusahaan, selanjutnya disebut “Permen-04/Men/1994”).
Sebagai tambahan
penjelasan dan mungkin sekedar me-refresh kembali
ingatan kita, bahwa putusnya hubungan kerja (“PHK”) melalui PKWTT, dapat
terjadi karena alasan-alasan, sebagai berikut:
a) PHK karena kehendak
pengusaha, misalnya PHK karena perubahan status (spin off atau split
off), merger/konsolidasi, restrukturisasi dalam hal akuisisi atau
efisiensi akibat reorganisasi dan likuidasi.
b) PHK karena kemauan
pekerja/buruh, seperti pengunduran diri atas kemauan sendiri (resign);
c) PHK karena
putusan/“penetapan” pengadilan, sesuai dengan saat yang ditentukan dalam
putusan atau penetapan (yang telah berkekuatan hukum tetap); atau
d) PHK yang terjadi demi hukum (otomatis),
misalnya pekerja/buruh mencapai batas
usia pensiun, meninggal dunia, berakhirnya jangka waktu -yang ditentukan
dalam perjanjian kerja (PKWTT) dimaksud.
Saat terjadinya PHK seperti tersebut itulah yang menjadi titik
poin perhitungan lamanya 30 (tiga puluh)
hari dimaksud sampai dengan “hari H” Hari
Raya Keagamaan. Jika saat itu masih dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, maka yang bersangkutan masih berhak atas THR. Namun
sebaliknya, jika lebih lama dari 30 (tiga puluh)
hari, maka tidak ada hak THR bagi yang bersangkutan.
Dengan demikian, berkenaan dengan masalah kawan-kawan yang setiap tahunnya di-”kontrak” dan selalu
diperpanjang dengan waktu yang sama, -sehingga komulatif 2 (dua) tahun-
dan telah berlangsung selama 6 (enam) tahun, maka tentu adakalanya kawan-kawan
mendapat THR secara proporsional, dan adakalanya full (normal), namun adakalanya mungkin tidak memperoleh sama sekali.
- Manakala “kontrak” hubungan
kerja Saudara (di awal) baru berlangsung lebih dari 3 (tiga) bulan saat “hari
H” pelaksanaan Hari
Raya Keagamaan, maka kawan-kawan hanya berhak THR secara proporsional;
- Akan tetapi, apabila “kontrak” hubungan kerja sudah berlangsung lebih dari 1
(satu) tahun (termasuk perpanjangannya), maka saat pelaksanaan Hari Raya Keagamaan, tentu kawan-kawan
berhak atas THR secara full (penuh).
- Namun jika “kontrak” kawan-kawan
pada tahun berikutnya tidak “ketemu” bersamaan atau tidak melampaui saat
pelaksanaan Hari
Raya Keagamaan, maka Saudara sama sekali tidak berhak atas THR dimaksud.
3. Berkenaan dengan penjelasan tersebut
di atas, masih ada beberapa ketentuan THR yang (mungkin) perlu atau penting
untuk dipahami semua pihak (pengusaha, pekerja/buruh atau “serikat” dan
termasuk masyarakat umum), yakni:
a. Perhitungan besaran hak THR pada
masing-masing pekerja/buruh, adalah sebagai berikut:
1) bagi pekerja (buruh)
dengan masa kerja yang kurang dari 1 (satu) tahun -tetapi telah lebih dari 3
(tiga) bulan-, diberikan secara proporsional dengan rumus: “Masa Kerja x
1(satu) bulan upah dibagi 12”. Dengan kata lain, 1/12 x upah x lamanya masa
kerja dalam bulan (Pasal 2 ayat[1] jo
Pasal 3 ayat [1] huruf b Permen-04/Men/1994);
2) bagi pekerja (buruh)
dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih (hingga tak terhingga), -hanya-
berhak 1 (satu) bulan upah (Pasal 2 ayat [1] jo
Pasal 3 ayat (1) huruf a Permen-04/Men/1994).
b. Besaran nilai THR adalah 1 (satu)
bulan gaji, yang (jika terdiri dari beberapa -item- komponen) meliputi upah pokok dan tunjangan tetap (vide Pasal 3 ayat [1] huruf a dan ayat [2] Permen-04/Men/1994).Namun
dalam hal besarnya THR telah diatur dalamPerjanjian Kerja (“PK”) dan/atau Peraturan
Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama (“PP/PKB”)
atau sesuai kebiasaan yang -nilainya- lebih besar dari nilai THR (secara
normatif) sebagaimana tersebut di atas, maka THR yang dibayarkan adalah sesuai
dengan PK dan/atau PP/PKB, atau kebiasaan yang telah dilakukan.
c. Pembayaran THR dilakukan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
sebelum “hari H” pada Hari
Raya Keagamaan dan
pemberiannya disesuaikan dengan Hari Raya Keagamaan masing-masing pekerja
(buruh), yakni :
- Hari Raya Idul Fitri,
bagi pekerja (buruh) yang beragama Islam;
- Hari Raya Natal, bagi
pekerja (buruh) yang beragama Kristen Katholik dan Protestan;
- Hari Raya Nyepi, bagi
pekerja (buruh) yang beragama Hindu; dan
- Hari Raya Waisak, bagi
pekerja (buruh) yang beragama Budha.
- Hari Raya Imlek bagi
Khong Hu Chu,
kecuali ditentukan lain untuk diberikan pada suatu Hari Raya
Keagamaan (agama) tertentu dengan tanpa hak untuk menuntut lagi pada Hari Raya
Keagamaan lainnya (vide Pasal 4
ayat [2] jo ayat [1] Permen-04/Men/1994).
d. Bentuk atau wujud THR, berupa uang
atau bentuk lain (natura), dengan ketentuan apabila diberikan dalam natura, tidak boleh berwujud minuman
keras, obat-obatan/bahan obat-obatan. Dan nilai-(natura)-nya hanya
maksimum 25% (dua puluh
lima perseratus) dari nilai THR yang seharusnya diterima, dan diberikan
bersamaan dengan pembayaran THR dalam bentuk uang (videPasal 5 jo
Pasal 1 huruf d Permen-04/Men/1994).
e. Dalam hal pekerja dipindahkan ke
perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut, maka (pada prinsipnya) pekerja
berhak atas THR pada perusahaan yang baru, -dengan ketentuan- pekerja (buruh)
yang bersangkutan memang belum pernah mendapatkan THR dari perusahaan yang lama
(vide Pasal 6 ayat [3] Permen-04/Men/1994).
f. Jika kondisi perusahaan tidak mampu membayar THR (secara
normatif), pengusaha dapat mengajukan permohonan penyimpangan khususnya
besarnya jumlah THR dengan menyampaikan permohonan- kepada Direktur Jenderal Perselisihan Hubungan Industrial
(“Dirjen”), dengan ketentuan permohonan diajukan (diterima) paling lambat 2
(dua) bulan sebelum “hari H” Hari Raya Keagamaan terdekat. Setelah
mempertimbangkan hasil pemeriksaan keuangan perusahaan,Dirjen (akan) menetapkan
besarnya jumlah THR.
Monggo di fikir lagi
apakah Fasilitator itu termasuk di dalamnya atau tidak!!
Kalau jawabannya IYA maka
harus segera bertindak.
Kalau jawabanya TIDAK yo
nrimo ing pandum.
Dasar hukum:
2. Peraturan Menteri Tenaga
Kerja RI Nomor Per-04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi
Pekerja di Perusahaan
3. Jika salah mohon di benarkan, jika kurang
pas mohon dipaskan.
Komentar
Posting Komentar