Catatan tentang TPA Klotok-Kediri

http://www.beritajatim.com/sorotan.php?newsid=116824 Mei 2012 20:29:29 WIB

Teror Gunung Sampah

Reporter : Nanang Masyhari
 
GUNUNGAN sampah di Tempat Pembuangan Air (TPA) Klotok, Kota Kediri kian hari kian menebar ancaman. Beberapa orang warga sekitar 'klenger' akibat polusi yang ditimbulkannya. Beberapa warga bahkan jatuh sakit. Ada pula yang meninggal dunia secara mendadak, diduga, karena tidak tahan mengirup bau busuk sampah.

Pemerintah Kota (Pemkot) Kediri berencana memperluas lahan TPA. Pemkot, bahkan sudah mengucurkan dana sebesar Rp 1,2 miliar untuk membebaskan lahan di sekitarnya. Sayangnya, rencana itu malah ditolak oleh warga. Mereka mendesak supaya TPA ditutup total. Akibat penolakan warga, dana besar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2011 itu pun bisa mubazir. Tragisnya, proses jual-beli lahan tersebut ditengarai tidak sesuai.

Kamis, 24 Mei 2012 siang, udara di sekitar RT 15/ RW 03, Lingkungan Jarakan, Kelurahan Pojok, Kecamatan Mojoroto terasa panas. Gejala ini sangat aneh. Sebab, angin bertiup sepoi-sepoi dari arah selatan ke utara.

Bau busuk tiba-tiba menyengat di halaman Masjid Nurul Hidayah. Bau itu bukan berasal dari kandang sapi milik Imam Nawawi. Sama sekali bukan. Bau busuk itu bersumber dari TPA Klotok, berada sekitar 100 meter di sebelah selatan masjid. Ya, memang benar, gunungan sampah yang sudah mencapai ketinggian lebih dari 20 meter tersebut menebarkan aroma tidak sedap.

“Bau busuk seperti inilah yang setiap hari kita hirup. Ini belum seberapa," ujar Imam Nawawi, takmir Masjid Nurul Hidayah, Kamis (24/5/2012).

Kepada beritajatim.com, Imam lantas menuturkan tentang bau busuk yang dinilainya sudah seperti teror. "Apabila sore hari, silakan datang kemari. Bisa mencium bau yang lebih busuk dari pada ini. Sudah seperti bau tinja. Baunya terus tercium hingga malam hari,” imbuh Imam. Pria berusia 54 tahun itu tinggal di sebelah timur masjid, berjarak sekitar 10 meter. Tetangga dekatnya adalah pak Soleh, seorang guru SMP di Kota Kediri.

Imam, begitu sapaan Imam Nawawi, lantas mengajak ke kebunnya. Dari kebun Imam, gunungan sampah terlihat menjulang tinggi. Pagar pembatas TPA sudah tidak sanggup menampungnya. Sementara lendir atau air rembesan sampah langsung dialirkan ke sungai yang ada di sebelah utaranya menggunakan pipa berukuran besar, tanpa melalui instalansi pengolahan yang memadai. Gunungan sampah itulah yang ditakuti warga. Mereka takut, gunungan itu suatu saat bisa longsor dan menutup sungai. Apabila benar terjadi, Imam yakin, bencana besar bakal terjadi.

“Apabila gunungan sampah longsor itu, bisa menutup sungai. Kemudian, pada saat musim hujan tiba dapat menimbulkan bencana besar. Sungai akan meluap dan menerjang rumah-rumah warga sekitar Jarakan. Sungai ini bersumber dari Gunung Klotok dan mengalir ke wilayah perkotaan. Pada musim penghujan, debet airnya sangat besar. Jika sampai terjadi banjir sampah, sudah dapat dipastikan, wilayah kota akan tertutupi sampah,” terka Imam, membayangkan bencana yang selalu mengancam.

Polusi sampah TPA Klotok langsung dirasakan oleh warga Jarakan. Ada sekitar 400 Kepala Keluarga (KK) meliputi lima RT yang sehari-hari menerima dampak buruh tersebut. Hasil penelitian Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Peduli Lingkungan (LSM APeL) Kediri menyebut, sekitar 40 persen dari total masyarakat Jarakan itu mengalami berbagai macam penyakit akibat sampah. Mulai dari Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), penyakit eltor, dan diare. Macam-macam penyakit tersebut menyerang masyarakat mulai usia 0-15 tahun. Paling banyak adalah penyakit ISPA dan diare.

Bahkan, kata Imam, seorang warga setempat tewas mendadak karena tidak tahan mencium aroma busuk sampah. Pria malang itu bernama Judi. Imam menemukannya sudah dalam keadaan tergeletak tak berdaya di sungai, dekat dengan kebun belakang rumahnya. Judi meregang nyawa saat menggembala kambing. Kejadian itu sudah berlangsung sekitar dua tahun lalu. Tetapi, Imam masih terus mengingatnya. Di antara masyarakat yang sakit lainnya adalah Sidik dan Jaenuri. Semula mereka seorang pemulung. Tetapi, karena jatuh sakit setelah terus-menerus mencium aroma busuk sampah, akhirnya kini keduanya berhenti total.

“Pada saat memulung, tiba-tiba badan saya lemas. Lutut saya bergetar, sampai akhirnya terjatuh. Aroma busuk sampah seperti masuk ke dalam paru-paru saya. Saya sakit stroke parah,” kenang Sidik, ditemui di rumahnya. Sejak kejadian itu, Sidik tidak berani memulung sampah. Kondisinya sudah lumayan membaik. Dia memilih bekerja sebagai tukang bangunan, dan meninggalkan pekerjaan sebagai pengais sampah. “Anak saya memberikan dua ekor kambil, supaya dirawat. Saya dilarang bekerja berat, apalagi kembali menjadi pemulung,” tegas adik ipar Imam Nawawi itu.

Diakui Sidik, seluruh pemulung di TPA Klotok yang jumlahnya kurang lebih 100 orang memang telah diberikan kartu jaminan kesehatan. Mereka bisa memanfaatkannya apabila sakit. Pemulung dapat berobat ke puskesmas secara gratis. Tetapi, dia tetap tidak mau kembali. Sidik mengaku, lebih baik bekerja seadanya, daripada ia kembali sakit. Menurutnya, kesehatan jauh lebih berharga daripada penghasilan yang didapat dari sampah.

Lain halnya dengan Sukidi. Pria tua yang telah berumur 65 tahun itu memilih bertahap sebagai pemulung. Meskipun harus menahan sakit gatal yang sudah menahun dan tidak kunjung sembuh.

“Sekujur tubuh ini gatal semua. Sudah diolesi salep gatal. Tetapi tidak mempan. Karena tidak ada pekerjaan lain, terpaksa terus mencari sampah. Ya, sehari paling dapat Rp 10 ribu. Hasilnya bisa untuk mencukupi kebutuhan. Daripada nganggur di rumah, tidak ada penghasilan sama sekali. Siapa yang mau memberi,” terang Sukidi.

Memang, Sukidi memang menggantungkan hidupnya dari sampah-sampah plastik di TPA. Dia sudah menjadi pemulung selama kurang lebih delapan tahun. Sukidi tidak pernah menggunakan pelindung apapun ketika mengais sampah. Hanya memakai sepatu butut yang ia peroleh dari balik tumpukan sampah.

Pemkot Kediri mengakui, TPA Klotok telah overload. TPA sudah tidak sanggup menampung berkubik-kubik sampah. Sementara, produksi sampah setiap hari juga tidak dapat dibendung. Tidak hanya berasal dari sampah buangan kantor-kantor atau instansi pemerintah, tetapi juga sampah keluarga, yang jauh lebih besar. Karena kondisi TPA Klotok tersebut, Pemkot Kediri gagal memperoleh Piala Adipura, pada tahun 2011. Sampai akhirnya, Kepala Dinas Tata Ruang Kebersihan dan Pertamanan (DTRKP) Mandung Sulaksono dimutasi dan kursinya digantikan Nur Muhyar, mantan Camat Mojoroto. DTRKP berencana memperluas lahan TPA Klotok. Dana sebesar Rp 1,2 miliar pun digelontorkan, untuk membebaskan lahan milik masyarakat yang berada di sekitar TPA. Luasnya mencapai 2 hektar, ada di sebelah utara, bagian barat, dekat dengan sungai.

Proses jual-beli lahan tersebut dilakukan secara diam-diam. Hal itu pula yang membuat masyarakat kecewa.

Warga merasa dipermainkan. Sebab, sejak awal warga menolak rencana perluasan lahan itu. Bahkan, warga mendesak supaya TPA Klotok untuk ditutup. Alasan warga, selain memperburuk dampak pencemaran, lahan baru tersebut hanya berjarak sekitar 50 meter dari Masjid Nurul Hidayah. Masyarakat sudah meluncurkan surat penolakan tersebut ke Pemkot Kediri melalui Kelurahan Pojok. Mereka mengancam akan melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran dan menyegel kantor kelurahan, apabila Pemkot Kediri tetap memperluas lahan TPA Klotok di sebelahnya.

Beberapa langkah, sebenarnya sudah ditempuh oleh pemerintah untuk merayu masyarakat. Di antaranya, berasal dari pihak kelurahan, mengusulkan kartu sehat serta kompensasi senilai Rp 600 juta kepada warga yang terkena dampak sampah. Usulan itu melalui Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Pojok. Hanya saja, belum ada pembahasan lebih lanjut mengenai usulan tersebut.

Selain itu, pemerintah menawarkan dana rehab Masjid Nuruh Hidayah. Tetapi, secara tegas, Imam menolaknya.

“Buat apa masjid dibangun secara megah, tetapi akhirnya ditumpuki sampah. Saya secara tegas menolaknya,” tegas Imam.

Imam menambahkan, proses pembebasan lahan yang rencananya untuk perluasa TPA Klotok memang beres. Tetapi, menyisakan masalah baru. Total harga jual lahan tersebut ia dengar hanya Rp 800 juta. Padahal, anggaran yang dikucurkan melalui APBD Kota Kediri sebesar Rp 1,2 miliar.

Kejanggalan itu juga dibenarkan oleh Ketua Ikatan Pemuda Kediri (IPK) Tomi Ary Wibowo. LSM yang bertempat di Kota Kediri itu memiliki data kejanggalan tersebut dan berniat membukanya secara umum. Apabila memang terjadi penyelewengan dana, IPK mengancam akan melaporkan hal itu ke aparat penegak hukum dalam hal ini, Polres Kediri Kota dan Kejaksaan Negeri Kediri.

Menanggapi kondisi tersebut, Kepala Kelurahan Pojok, Iryza Mahendra Jaya mengaku paham dengan masalah warganya. Pihaknya berharap Pemkot Kediri bisa memberikan kompensasi kepada warga penerima dampak. Seperti tahun sebelumnya, diwujudkan dalam beras.

Terpisah, Kepala DTRKP Kota Kediri, Nur Muhyar mengungkapkan, masalah sampah di TPA Klotok sangat kongkret. Tetapi dia berjanji untuk menyelesaikannya. Mantan Kabag Humas Pemkot Kediri itu mengaku, pemberian kartu sehat untuk masyarakat penerima dampak sedang dibahas. Sementara mengenai pemberian kompensasi melalui hibah, masih dalam proses pengkajian.

“Kompensasi tersebut memang belum kita realisasikan karena adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 32 tentang pemberian dana hibah untuk kegiatan sosial. Kita bahas dengan tim anggaran. Harapannya bisa masuk buku APBD. Tetapi, karena adanya aturan tersebut, kita perlu berhati-hati dalam menyalurkannya. Jangan sampai, nanti malah menjadi masalah,” pungkasnya. [nng/but]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empat Pilar Pemberdayaan Masyarakat

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan menganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN”

DAFTAR LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DAN LEMBAGA NON PROFIT