Sebuah “Catatan” Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Program



Di pertengahan tahun ini sempat mencuat wacana proses pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri dan difasilitasi oleh pemerintah merupakan program dilematis & pragmatis. Dengan alasan cukup mendasar bahwa Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) ingin mengembalikan kembali nilai-nilai luhur bangsa seperti kejujuran, gotong-royong, dan keterbukaan merupakan semangat mentalitas yang bisa muncul dalam sebuah problematika masa lalu saja.
Memberdayakan masyarakat tentu saja bukan sebuah proses apologetik. Menghidupkan kembali semangat masa lalu di hari ini yang syarat dengan beberapa perbedaaan mendasar dalam kehidupan di masyarakat. Dilatarbelakangi oleh perbedaaan waktu, latarbelakang,  dan mentalitas manusia itulah hal tersulit dari siapa pun untuk membangkitkan kembali semangat nilai-nilai luhur bangsa dalam kehidupan.
Fasilitasi yang diberikan oleh pemerintah baik berupa anggaran maupun konsep pemberdayaan memang mengacu pada tataran realistis dan dipengaruhi oleh nilai-nilai empiris. Bahkan, melalui proses analisa terhadap kehidupan masa lalu dan kini. Hanya saja sebuah proses yang diturunkan dari atas ke kelompok akar rumput perlu pembenahan dan pengadaptasian lingkungan di mana kita sedang hidup.
Bisa dibayangkan. Masyarakat dengan kapasitasnya sebagai akar rumput tiba-tiba harus mengelola proyek pembangunan dengan nominal uang di atas rata-rata Rp 300,000,000 per tahun. Sementara dalam PNPM ada sebuah siklus yang harus dilalui oleh masyarakat tersebut.
Siklus-siklus tersebut pun kadang diabaikan oleh masyarakat dengan alasan sebuah percepatan, progres, dan masyarakat sekarang sudah pada cerdas. Tentu, hal tersebut akan menimbulkan sebuah sinyal. Bahwa saat ini semangat individualismelah yang menjadi landasan berpijak mayoritas masyarakat kita.
Dalam iklim atau proses yang dipaksakan secara individual seperti ini progres dan percepatan memang bisa dicapai. Pemberdayaan bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Namun, penguatan mentalitas terhadap sebuah keinginan dan itikad ingin mengenal satu sama lain, menghargai jerih payah orang lain, akan terhapus dalam kehidupan.
Dalam iklim individual yang kuat dan mendominasi dalam setiap ranah kehidupan dan cara-cara memberdayakan masyarakat membutuhkan sebuah ketepatan strategi. Agar program apa pun tidak menjadi sebuah paradigma dilematis.
PNPM hadir dan masyarakat sejak sembilan tahun terakhir telah menikmati hasilnya. Perlu diingat selama sembilan tahun ini –terutama di daerah Jawatimur, bukan perjalanan mulus dan tanpa masalah. Normatif memang. Sampai, saya bisa membuat satu simpulan besar. PNPM merupakan sebuah program dilematis. Satu sisi ingin mengembalikan kembali nilai-nilai luhur bangsa namun pada saat yang bersamaan masyarakat dituntut untuk melakukan progres pemberdayaan dengan penjadwalan tanpa kerangka.
Harus diakui, ini memang permasalahan mendasar PNPM di negara ini. Progres pemberdayaan seharusnya sejalan dengan pembuatan jadwal dan rencana kegiatan. Bukankah orang-orang yang ditempatkan di PNPM ini merupakan orang-orang “pilihan” yang sudah bisa membaca dan memprediksikan kegiatan ke depan. Lalu, mengapa antara proses pemberdayaan dengan jadwal kegiatan seolah selalu tidak klop. Kadang pemberdayaan dilakukan mendahului jadwal kegiatan. Pada saat lain kegiatan yang mendahului progres pemberdayaan.
Akibat langsung yang terjadi di masyarakat adalah masyarakat kembali bingung karena dibingungkan oleh permasalahan mendasar seperti di atas. Fasilitator (FK/FT/PL/FD) dan KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) bisa menghantam siapa saja. Terutama fasilitator PNPM dengan cara bagaimana pun. Aturan-aturan pun kadang kurang jeli dalam mengahadapi manuver BKM di akar rumput. BKM dengan alasan pemberdayaan bisa saja melakukan pemotongan terhadap anggaran kegiatan yang semestinya dinikmati langsung oleh masyarakat.
Kasus-kasus pemotongan terhadap anggaran kegiatan biasanya didalihkan terhadap pengadministrasian karena rata-rata KSM kurang memahami pengadministrasian anggaran kegiatan. Ketidakmengertian inilah yang dimanfaatkan oleh beberapa BKM untuk melakukan pemotongan anggaran kegiatan. Contohnya, Kelompok SPP/UEP memanipulasi data kelompok peminjam dengan cara memalsukan KTP sebagai salah satu syarat pengajuan untuk mendapatkan pinjaman dari SPP/UEP. Selain itu manipulasi dana swadaya dengan cara membesarkan anggaran/RAB yang dibiaya program. Sedangkan di tingkat Fasilitator adalah banyaknya fasilitator yang tidak faham betul tentang alur program, hal itu disebabkan oleh system perekrutan yang dilakukan oleh elite program, satu hal lagi yang tidak kalah penting adalah kinerja Fasilitator yang tidak terpantau dengan baik. Dan saya fikir masih perlu banyak kekurangan yang harus dibenahi dengan satu syarat elite program tidak menutup mata.
Ingat……!!!! Sekarang pemerintah daerah sudah berani melakukan intervesi terhadap pelaksanaan program dilapangan.
Ingat…..!!!!! jangan melihat by data saja, Monitoring dan evaluasi jangan hanya sekedar sebagai symbol atau syarat untuk mendapatkan SPPD saja.
Ingat…… Pelaku program di tingkat bawah sudah mulai bosan dengan system kadaluwarsa. Untuk itu perlu sebuah design/formula baru untuk membangkitkannya

Dan satu hal lagi yang perlu kita pertanyakan adalah  apa yang dilakukan oleh KWM/Faskab/Monev/Korprov/SP2M/MIS sebagai orang tua asuh fasilitator di tingkat Kota atau Kabupaten atau Kecamatan ketika melihat fenomena ganjil seperti di atas. Lumrah memang. Mentalitas bangsa ini selalu ingin mencari jalan keluar, dikompromikan, dan jalan keluar itu akan menyelamatkan semua pihak. Maka, virus seperti ini akan menyebar kepada akar rumput karena kebiasaan kita memang sering menjadikan kebiasaan jelek sebagai barometer dalam bertindak kita. Lemahnya aturan ini akan dimanfaatkan oleh orang-orang oportunis untuk menggembosi PNPM.
Masalah terbesar dalam kasus seperti ini akan munculnya benturan di kelompok akar rumput. Maka, apa yang akan dihasilkan oleh program pemberdayaan ketika kelompok kelompok di akar rumput saja sudah tidak bisa dikendalikan karena ada di dalam hirup pikuknya benturan. Baik pemikiran, terlebih perang mulut, dan saling salah menyalahkan.
Sehebat apa pun konsep pemberdayaan jika tidak dibarengi dengan ketegasan orang orang yang berada di dalamnya serta aturan dan penegakan hukum adalah isapan jempol belaka. Satu hal lain penguatan mentalitas harus diarahkan dengan mengedepankan pengentasan masalah mendasar masyarakat. Saat ini permasalahan mendasar masyarakat adalah lemahnya semangat entreupreneur, kewirausahaan, penemuan jati diri. Bukan melulu dikucuri dana untuk memperkuat dan membangun beberapa gang, jalan lingkungan, sekolah, pasar dan lain lain.
Hanya menunggu waktu, seberapa jauh PNPM benar-benar memberi angin segar dan hawa sejuk bagi kaum marjinal!!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empat Pilar Pemberdayaan Masyarakat

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan menganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN”

DAFTAR LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DAN LEMBAGA NON PROFIT