"KHITTAH" FASILITATOR
Lahirnya fasilitator
berawal dari sebuah kebutuhan masyarakat untuk menghantarkan berbagai
kepentingan dan masalah yang dihadapi masyarakat dari berbagai keterbatasan
masyarakat itu sendiri. Hadirnya seorang fasilitator di harapkan mampu
menjembatani hambatan untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat, pada
awalnya munculah berbagai upaya masyarakat untuk melakukan menyelesaikan
hambatan-hambatan yang terjadi dilakukan oleh masyarakat itu sendiri, akan
tetapi tetap saja aspek netralitas untuk menyelesaikan hambatan dan kendala
internal dimasyarakat relatif sulit di tangani oleh komponen yang ada di
masyarakat karena dianggap tidak netral, di sinilah mulai hadir kebutuhan orang
luar untuk hadir menjadi bagian dari permasalahan masyarakat. Kehadiran
pihak diluar masyarakat/ komunitas diharapkan menjadi fasilitator yang dapat
mengakselerasi, memotivasi mendorong berbagai upaya menyelesaikan berbagai
masalah yang menjadi isue pokok mereka.
Kalau kita
mengingat-ingat film,sinetron, drama TVRI di era 80 an sering kali
ditayangkan gambaran pengabdian seseorang di sebuah desa/kampung dengan
berbagai masalahnya, seperti hadirnya seorang dokter di desa dan dihadapkan
pada permasalahan dilokasi tugas, petualangan kelompok pramuka ke suatu desa dan
berinteraksi dalam masalah masyarakat, kehadiran seorang tukang insinyur
pertanian yang membawa perubahan pertanian di desa, bahkan terdaparnya seorang
narapidana yang tidak sengaja terdampar dan mengabdi menjadi bagian masyarakat
dan menyelesaian masalah bersama masyarakat, tokoh-tokoh (
dokter,pramuka,tukang insinyur pertanian, narapidana ) dalam cerita tersebut
menggambarkan fungsi sebagai fasilitator masyarakat. Film Burning Season
sebuah contoh sangat inspiratif yang mensoroti perjuangan Chicho Mendez
untuk memperjuangkan hutan dan masyarakatnya, ternyata tidak lepas dari
peran orang luar yaitu sosok wilson pinheiro yang tiada putus asa
mendorong memberikan kesadaran, memperkuat kapasitas masyarakat dalam menangani
permasalahan di hutan amazon.
Tidak Mudah rasanya
melibatkan orang luar masuk dalam lingkaran persoalan, lingkaran kebutuhan
masyarakat untuk mencapai tujuan bersama sesuai kehendak yang
dicita-citakannya. Kepedulian itulah awal jiwa sang pengembara dan sang pejuang
desa/hutan/lingkungan, rasa kepedulian terhadap masalah dan cita-cita yang
diinginkan masyarakat telah menggunggah jiwa-jiwa kejuangan, yang dekat dengan
masyarakat, menjadi bagian masyarakat dan berjuang bersama untuk
memperjuangkannya. Itulah sebenarnya seorang Fasilitator itu lahir.
Sehingga tidak berlebihan fasilitator harus memiliki kredo sebagaimana petuah
Lao Tse di tiongkok 700 Sebelum Masehi yang mengajarkan kita : “
Pergilah pada mereka, Tinggallah bersama mereka, Belajarlah dari mereka, Cintai
mereka, Mulai dari apa yang mereka tahu, Bangun dengan apa yang mereka punya,
dengan pemimpin-pemimpin yang baik, Ketika pekerjaan selesai dan tugas telah
dituntaskan masyarakat akan mengatakan “Kita mampu melaksanakan sendiri”.
Tidak berlebihan kredo tersebut tetapi itulah tuntunan bagi seorang fasilitator
pemberdayaan Masyarakat. Itulah sebenarnya harapan kita terhadapa para
fasilitator maupun para pengiat program pemberdayaan.
Tapi dengan
berjalannya waktu banyak Fasilitator yang cakap menggunakan berbagai metode
partisipatif tetapi tidak punya hati seenaknya sendiri, lupa dengan
tugas&tanggujawabnya, lupa kalau mereka harus selalu disamping masyarakat.
Seperti fasilitator cepat saji yang lebih mirip tentara bayaran untuk disewa
dalam jangka waktu tertentu. Fasilitator yang siap “menjajah” dari satu
daerah satu ke daerah lain. Fasilitator yang menganggap masyarakat miskin dan
kemiskinan sebagai masalah yang berada di luar dirinya. Fasilitator yang melayani
lembaga/program mana/apa saja yang penting dibayar mahal. Fasilitator
yang tidak pernah sempat menginternalisasi proses pendampingan dan pembelajaran
bersama masyarakat sebagai bagian dari kehidupnya sendiri. Fasilitator yang
menghabiskan waktu luangnya untuk membaca iklan lowongan kerja fasilitator.
Selain hal itu belum
lagi persoalan lain seperti Fasilitator saat ini sudah mulai mengejar karir
fasilitator yang lebih tinggi tingkatannya, karena ada jenjang profesi karier
yang dihadapi saat ini menjanjikan untuk hal tersebut. Jika di PNPM Md misalnya
dari FK bisa naik jenjang menjadi FASKAB, Dari Faskab bisa mengajukan menjadi
MIS/Specialis/Korprov dll. Belum lagi faktor "KOLUSI" antar para
pelaku program.
Namun disisi yang lain
saya menilai masih banyak juga para fasilitator dan para pengiat program
pemberdayaan yang bekerja tanpa pamrih. Kebanyakan dari mereka bekerja dengan
hati, dan mereka kebanyakan tinggal di lokasi-lokasi terpencil hampir tanpa
memikirkan besar kecilnya bayaran. Hati dan keberpihakannya kepada warga miskin
yang didampinginya tak perlu diragukan. Mereka adalah orang-orang setempat yang
sudah bekerja jauh sebelum program-program pemerintah diluncurkan.
Dari sekian banyak
persoalan yang ada, sudah saatnya kita
berharap besar dan sangat besar agar para
fasilitator maupun para pengiat pemberdayaan masyarakat untuk kembali kepada
khittah-nya, yaitu "MULAI MENDALAMI MASYARAKAT DENGAN HATI", dengan memegang teguh petuah Lao Tse : “ Pergilah pada
mereka, Tinggallah bersama mereka, Belajarlah dari mereka, Cintai mereka, Mulai
dari apa yang mereka tahu, Bangun dengan apa yang mereka punya, dengan
pemimpin-pemimpin yang baik, Ketika pekerjaan selesai dan tugas telah
dituntaskan masyarakat akan mengatakan “Kita mampu melaksanakan sendiri”
Komentar
Posting Komentar