Coklat Itu Tak Pernah Manis Untuk Bu Minah

Rasa makanan favorit saya itu tak akan pernah jadi manis untuk seorang Ibu petani asal Dusun kecil bernama Sidoharjo di Banyumas, Jawa Tengah. Karena dari bahan dasar makanan yang banyak digemari anak kecil itulah Ibu berusia 55 tahun itu harus menghadapi Korps berbaju coklat, sebelum akhirnya dibawa ke meja hijau.

Miris hati saya begitu membaca berita utama di Harian Kompas (20/11) yang berjudul "Elegi Minah dan Tiga Buah Kakao di Meja Hijau...", masih belum selesai keruwetan kasus KPK, Polri, Kejaksaan Agung dan Bank Century, jauh dari hiruk-pikuk Ibu Kota ternyata ada peristiwa yang memilukan. Bagaimana tidak? Ketika seorang Ibu berusia 55 tahun yang buta huruf harus menghadapi persidangan tanpa didampingi pengacara hanya karena tiga buah kakao yang dipetiknya, si Ibu pun mengaku sudah meminta maaf bahkan mengembalikan buah tersebut. Namun itu dirasa belum cukup hingga pihak PT Rumpun Sari Antan (RSA) pemilik perkebunan kakao harus melaporkan Ibu yang bahasa Jawanya ngapak ini (logat khas Banyumas).

Pada akhirnya Ibu ini memang hanya dihukum selama 1 bulan 15 hari dan masa percobaan tiga bulan, yang artinya ia tidak akan ditahan. Namun kasus ini menunjukkan kepada kita potret hukum yang berat sebelah (mungkin Ratu Adil dalam timbangan itu tak lagi ditutup matanya), dimana penegakan hukum sudah mengesampingkan nurani yang semestinya menjadi dasar setiap tindakan para penegak hukum di negeri ini. Memang secara teori, ada tiga tujuan dalam proses penegakan hukum yakni kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum. Proses penegakan hukum itu dilakukan biasanya memang tidak mampu mengakomodir ketiga tujuan tersebut, apabila yang dicapai kepastian hukum maka keadilan dan kemanfaatan hukum akan tersisih dan begitu sebaliknya.

Dalam kasus yang dialami oleh Ibu Minah ini, nampak bahwa para aparatnya menuju kepada kepastian hukum, namun di sisi lain justru tidak didapat keadilan oleh Ibu Minah. Ironis bagi Ibu yang sudah memiliki 7 orang cucu ini harus dihukum atas pencurian barang yang bahkan sudah dikembalikannya. Hati saya semakin miris lagi ketika menonton acara Kabar Petang di TVOne masih di hari yang sama (20/11), Jaksa mengatakan bahwa ini perkara yang sudah biasa ditangani, ketika diputuskan itu pun masih pikir-pikir apakah akan melakukan upaya hukum atau menerima putusan hakim. Kenapa Jaksa tidak meminta keringanan hukuman? Pihak kepolisian yang diwawancara mengakui sudah ada proses mediasi yang dilakukan namun tidak menemui kata sepakat, tidakkah ini aneh mengingat menurut Ibu Minah ia sudah mengembalikan bahkan meminta maaf kepada Mandor dari PT RSA. Kata sepakat apa lagi yang dicari? Bukankah permintaan maaf sebenarnya sudah lebih dari cukup? Kalau yang dimaksud PT RSA adalah ganti rugi 3 kg kakao (Dalam wawancara dengan TVOne mereka mengklarifikasi bukan tiga buah kakao tapi 3 kg kakao yang diambil Ibu Minah) seharga Rp.30.000, semestinya Ibu Minah mampu membayarnya karena ongkos perjalanannya satu kali ke Purwokerto tempat ia disidang menghabiskan Rp.50.000, biaya itu pun bisa dipaksakan untuk pinjam seperti yang dialaminya juga ketika seorang Jaksa memberinya uang untuk ongkos transportasi. Kalau memang pihak PT RSA ngotot memproses kasus ini sebagai bentuk peringatan karena sudah sering kakaonya dicuri, kenapa tidak sejak dulu membuat pagar pembatas? Kenapa harus mengorbankan seorang Ibu yang tidak tahu apa-apa soal hukum? Uniknya lagi ada dugaan bahwa kasus ini sengaja diteruskan untuk menghancurkan Paguyuban Petani Banyumas, seperti disampaikan oleh Slamet Ketua Paguyuban tersebut, masih di acara yang sama.

Vonis itu sudah diberikan, beruntung Ibu Minah tak sampai harus mendekam di penjara. Namun ini kasus ini sudah menunjukkan betapa para penegak hukum kita masih plin-plan dalam melaksanakan tugasnya, mereka yang kecil harus jadi korban karena ketidak tahuan mereka. Semestinya penegakan hukum juga mempertimbangkan keadilan dan kemanfaatan hukum, tak hanya kepastiannya saja. Ketika mediasi kedua belah pihak tak mencapai kata sepakat, semestinya bisa dipertimbangkan atau direkomendasikan untuk menghentikan proses kasus ini, Jaksa pun sebenarnya tak perlu pikir-pikir lagi untuk menerima putusan hakim, apakah masih akan ditempuh lagi upaya hukum yang mungkin akan membuat Ibu Minah menempuh 25 kilometer setiap bersidang?

Kebenaran memang bisa saja pahit, apalagi kebenaran adalah salah satu unsur mencapai keadilan. Kalau memang ingin menegakkan hukum yang seadil-adilnya tak perlu sampai masyarakat menyaksikan orang-orang seperti Ibu Minah lagi, cukuplah mereka merasakan penderitaan, derita yang sama pahitnya seperti coklat yang tak pernah manis baginya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empat Pilar Pemberdayaan Masyarakat

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan menganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN”

DAFTAR LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DAN LEMBAGA NON PROFIT