Negara Hukum Yang Ajaib

Ada marah, ada resah, gregetan akan hukum di negeri saat melihat tayangan di TV One tentang hukuman untuk seorang jaksa yang tertangkap basah menjual ekstasi sitaan sebanyak 300 biji hanya dihukum setahun penjara dan bisa langsung bebas setelah dipotong masa tahanan, sedangkan seorang supir yang hanya ketahuan membawa sebutir ekstasi harus rela menerima hukuman 4 tahun 30 hari penjara, tapi aku tak ingin mengiringi dengan kebencian....



Dibalik berbagai penuntutan perbaikan tentang penegakan hukum di Indonesia, tetapi ketidak adilan tetap tak lepas dari pandangan kita dengan kasat mata. Karena para penegak hukum telah mati nuraninya dan menjadi bebal.

Mereka lebih rela membuat rakyat sengsara , dan melindungi penguasa. Rakyat kecil mereka anggap sampah sehingga bisa seenaknya dihukum dengan semena-mena. Tetapi untuk para penguasa yang bisa bayar mereka, hukum tak ada nilainya, karena rupiah lebih dari berharga dari segalanya. Walau mereka bersalah, diperlakukan bak raja .

Coba bayangkanlah, seorang jaksa yang sudah kaya, dengan mudahnya menjual ekstasi sitaan untuk memperkaya diri , tertangkap basah, hanya dihukum satu tahun saja, dipotong masa tahanan, setelah itu ia bisa tertawa. Tetapi seorang supir yang karena rakyat biasa, ketahuan membawa sebiji ekstasi, hukum ditegakkan sehingga empat tahun tiga puluh hari hukuman harus diterima. Suka atau tidak suka. Adil atau tidak adil, sang supir bisa apa?

Ini terjadi di Jakarta dekat dengan istana. Apakah berita ini hanya dianggap sinetron saja? Bila para hakim memang buta, apakah semua pemimpin di negeri ini juga buta? Apalagi yang bisa kita harapkan dari sebuah negeri yang lebih menghargai sampah daripada permata? Sebuah negeri yang lebih menyembah berhala uang daripada keadilan. Seorang Gus Dur yang matanya buta sebenarnya masih lebih terang melihat daripada para hakim yang matanya sebesar biji jengkol itu, benarkah demikian? Ataukah mereka itu hakim-hakim gadungan yang ditemukan dipinggir jalan? Jangan-jangan para jaksanya pun adalah preman jalanan.

Tragedi email curhat, buah kakao, pencurian listrik, maling semangka, dan sekarang sebiji ekstasi, masihkah tak bisa membuka mata pemimpin negeri ini untuk memperlakukan keadilan? Apakah memang keadilan di negeri ini sudah mau mendekati jurang kematian? Wahai para pembela keadilan yang lantang berteriak, kemana perginya? Membela para cukong dan koruptor lebih ada nilai dolarnya daripada membela rakyat kecil yang hanya memakai kolor. Benarkah demikian? Sungguh negeri yang telah mati, yang dipenuhi janji-janji. Sumpah-sumpah diucapkan untuk membodohi rakyatnya demi melanggengkan kekuasaan. Keadilan yang seharusnya ditegakkan tanpa perlu sumpah-sumpah justru dibiarkan didepan mata.

Karena rakyat itu bukan untuk dibela, tapi dijadikan tumbal kekuasaan. Apakah aku salah bicara? Hampir kering air mata rakyat menangisi nasibnya penuh sengsara dijalanan dan rumah kumuh, sedang para pemimpin berpesta penuh tawa di istana dengan kantong-kantong penuh harta. Tanpa merasa dosa. Apa ini yang namanya pengabdian dan demi rakyat? Tak perlu kata-kata lagi, sudah bosan untuk didengarkan, rakyat hanya butuh tindakan nyata demi keadilan.

Mengapa rakyat yang sudah menderita harus menerima hukuman yang oleh kesalahan keadilan? Rakyat mau bertindak keadilan dijalanan dikatakan anarkis. Semua bisa diselesaikan di pengadilan. Pengadilan yang mana? Bukankah pengadilan sudah jadi sarang mafia dan tempat mencari keuntungan? Tolong jangan permainankan rakyat yang sudah menderita. Hati nurani masihkah ada untuk bicara?!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Empat Pilar Pemberdayaan Masyarakat

“Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan menganggu keamanan, maka hanya ada satu kata LAWAN”

DAFTAR LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DAN LEMBAGA NON PROFIT